Senin, 30 Maret 2009

Agroforestri Sebagai Suatu Pendekatan untuk Membangun Kepedulian Masyarakat Terhadap Kelestarian Hutan


Oleh : Ayu Putu Harina Ferdiyanthi

Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan. Dari Merauke sampai Sabang berjajar pulau-pulau besar maupun kecil dengan jumlah sekitar 17.504 (Saksono, 2004), sehingga julukan Nusantara (nusa = pulau, antara = antar) sangatlah pantas untuk Indonesia. Dengan total luas kepulauan Indonesia mencapai 1,9 juta km2 (Rochma, 2008) dan luas tutupan hutan mencapai 130 juta hektar (Kabar Indonesia, 2008), kepulauan Indonesia tampak menghijau bak untaian zamrud khatulistiwa. Hasil hutannya yang melimpah ditambah dengan suasana alamnya yang kondusif menjadikannya Indonesia negeri gemah ripah loh jinawi.

Terkait dengan keberadaan hutan di Indonesia, telah diatur dalam Pasal 33 Ayat 3 UUD Tahun 1945 tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial (Anonim, 1996) menegaskan bahwa: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal tersebut menunjukkan bahwa hutan yang ada di Indonesia patut untuk dijaga dan diatur oleh negara serta dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Dalam hal perlindungan hutan sebagaimana telah diuraikan dalam Pasal 4-6 Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 1985 tersirat bahwa masyarakat dilarang untuk memotong, memindahkan, merusak, menduduki, mengerjakan kawasan hutan dan atau menghilangkan pal batas hutan. Apabila masyarakat melanggar maka akan dijatuhi sanksi yang seberat-beratnya. Walaupun sudah diberlakukannya sanksi-sanksi, namun kenyataannya pelanggaran tetap saja terjadi. Ditambah lagi banyak orang yang kurang mempedulikan fungsi dan peran hutan yang berguna untuk menyeimbangkan sistem ekologi bumi.

Pelanggaran terjadi tanpa diimbangi dengan usaha penanaman hutan kembali (reboisasi). Penanaman berbagai macam pohon dengan atau tanpa tanaman setahun (semusim) pada lahan yang sama sudah sejak lama dilakukan di Indonesia. Contoh ini dapat dilihat dengan mudah pada lahan pekarangan di sekitar tempat tinggal petani. Praktek ini semakin meluas belakangan ini khususnya di daerah pinggiran hutan dikarenakan ketersediaan lahan yang semakin terbatas. Konversi hutan alam menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dikonversi menjadi lahan usaha lain. Maka lahirlah agroforestri sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan baru di bidang pertanian atau kehutanan. Ilmu ini berupaya mengenali dan mengembangkan keberadaan sistem agroforestri yang telah dikembangkan petani di daerah beriklim tropis maupun beriklim subtropis sejak berabad-abad yang lalu. Agroforestri merupakan gabungan ilmu kehutanan dengan agronomi, yang memadukan usaha kehutanan dengan pembangunan pedesaan untuk menciptakan keselarasan antara intensifikasi pertanian dan pelestarian hutan.

Permasalahannya sekarang adalah apa saja faktor penyebab kerusakan hutan, bagaimana agroforestri dapat dijadikan suatu pendekatan dalam sistem pengelolaan hutan di Indonesia, dan apa saja kendala yang dihadapi serta bagaimana solusi untuk mengatasinya? Untuk menjawab hal ini mutlak diperlukan kajian mengenai agroforestri, kondisi hutan Indonesia dan sistem pengelolaan hutan di Indonesia yang berjalan selama ini sehingga didapat suatu korelasi positif antara keduanya.

Dalam pengertian sederhana, agroforestri yang lebih dikenal dengan istilah wanatani merupakan suatu sistem penggunaan lahan yang bertujuan untuk mempertahankan atau meningkatkan hasil total secara lestari, dengan cara mengkombinasikan tanaman pangan/ternak dengan tanaman pohon pada sebidang lahan yang sama, baik secara bersamaan atau secara bergantian, dengan menggunakan praktek-praktek pengolahan yang sesuai dengan kondisi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya setempat (Anonim, 2001).

Selain untuk mencegah perluasan degradasi tanah, agroforestri melestarikan sumber daya hutan, meningkatkan mutu pertanian serta menyempurnakan intensifikasi dan diversifikasi silvikultur. Sistem ini telah dipraktekkan oleh petani di berbagai tempat di Indonesia selama berabad-abad (Michon dan de Foresta, 1995), misalnya sistem ladang berpindah, kebun campuran di lahan sekitar rumah (pekarangan) dan padang penggembalaan.

Berdasarkan hal tersebut diharapkan di setiap daerah di Indonesia diberlakukan agroforestri mengingat hampir setiap daerah di Indonesia terdapat hutan. Bahkan dunia pun mengakui bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki hutan terbanyak sedunia. Karena itulah Indonesia dikatakan sebagai paru-paru dunia. Dilihat dari jenis vegetasinya, hutan di Indonesia sebagian besar terdiri atas hutan hujan tropis, daerah sabana, daerah stepa, serta vegetasi hutan lain yang tersebar merata di kepulauan Indonesia.

Saat ini, laju kerusakan hutan mencapai 3,8 juta hektar per tahun. Ini berarti dalam semenit terdapat 7,2 hektar hutan yang rusak. Tercatat bahwa sebanyak 34.005,46 ha areal hutan rusak akibat perambahan atau pemukiman liar serta sebanyak 10.663,41 ha areal hutan rusak akibat perladangan liar, penebangan liar, dan pencurian hasil hutan (Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2006). Menurut World Reseach Institute, dari total tutupan hutan Indonesia seluas 130 juta hektar, 72 persen hutan asli Indonesia telah hilang. Berarti hutan Indonesia hanya tinggal 28 persen saja. Untuk itu, semua pihak dituntut dapat memberikan kontribusi dan partisipasi aktif bagi perbaikan hutan Indonesia.

Sedangkan sebaran kawasan konservasi dilihat pada tahun 2006, antara lain: cagar alam 4.524.848,93 ha, suaka margasatwa 5.004.629,74 ha, taman wisata alam 269.215,85 ha, taman buru 226.200,69 ha, taman nasional 12.330.204,61 ha, serta sisanya berupa taman hutan raya 347.427,34 ha.

Selama ini, sistem yang digunakan dalam pengelolaan hutan di Indonesia biasanya menggunakan sistem tebang tanam pohon (Sagala, 2002). Dimana sistem ini hanya berpegang pada hasil produksi. Walaupun tetap diusahakan agar berguna pula untuk mencegah bencana seperti erosi, namun tidak menutup kemungkinan terjadi kebakaran hutan atau masalah-masalah lainnya.

Sistem pengelolaan yang tergolong sederhana tersebut masih kurang memberikan hasil, bahkan tidak dapat mengantisipasi agar tidak terjadi masalah-masalah hutan. Sehingga dapat dikatakan sistem pengelolaan tersebut belum efektif, hingga dapat menimbulkan beberapa masalah. Selain karena sistem pengelolaan yang belum efektif, kerusakan hutan bisa terjadi karena penebangan yang salah sasaran dan menebang tanpa perhitungan atau disebabkan karena pihak berwenang tidak menetapkan tegakan sebagai produk, hal ini merupakan kesalahan fatal karena yang disebut-sebut hanyalah prosedur, target produksi dan target luas tanaman, akibatnya di lapangan tidak ada acuan kerja dan tolok ukur untuk menilai hasil pekerjaan. (Sagala, 2002)

Berdasarkan hal tersebut maka perlu dicari solusi yang tepat untuk dapat memperbaiki keadaan hutan. Sebelumnya perlu adanya strategi untuk mengimplementasikan hutan ke arah yang lebih baik dengan tetap melestarikannya. Strategi yang dapat digunakan adalah dengan pendekatan agroforestri. Dimana pendekatan ini dapat digunakan untuk membangun kepedulian masyarakat terhadap kelestarian hutan.

Lahan yang dimanfaatkan sebagai agroforestri adalah lahan gundukan atau lahan yang area tanahnya miring. Area ini tidak sulit untuk ditemukan karena kenyataannya hutan-hutan yang tersisa atau yang belum dialihfungsikan kebanyakan terdapat di daerah perbukitan atau pegunungan. Dari pengertian agroforestri tersebut bisa disimpulkan bahwa strategi yang dimaksud adalah penerapan praktek-praktek pertanian dataran rendah dipindahkan ke dataran tinggi atau pada area gundukan. Digunakannya lahan gundukan sebagai area hutan adalah untuk mencegah air cepat hilang dari tanah.

Pertama, lahan dibersihkan dari tanaman pengganggu (alang-alang atau tanaman mudah terbakar lainnya). Langkah berikutnya dalam penanaman pohon adalah membuat daerah barisan. Pada lahan datar, sebaiknya barisan-barisan tersebut menggunakan model tanam empat persegi panjang sehingga membuat lajur lebih lebar dan lebih mudah jika diisi tanaman sela. Tempat untuk menanam pohon ditandai dengan patok untuk memudahkan pengelolaan tanaman sela terutama saat menyiangi (Anonim, 2001). Perlu dipertimbangkan pula untuk menanami tanaman sela tanaman semusim. Persiapan seksama akan membantu membasmi alang-alang dan memperbaiki pertumbuhan pohon. Selain itu juga akan memberikan hasil tambahan (Anonim, 2001).

Lebih lanjut dijelaskan bahwa penggalian lubang dilaksanakan paling tidak satu minggu sebelum tanam. Sinar matahari akan membantu merombak bahan organik dalam lubang tanam, membantu membunuh hama dan membasmi penyakit yang membahayakan. Lubang tanam seharusnya mampu menampung akar tanaman dan pupuk kandang. Lapisan tanah bawah pada dasar lubang sebaiknya dihancurkan untuk tanah-tanah yang padat. Setelah semua siap barulah dilaksanakan penanaman. Penanaman akan lebih baik dilakukan saat musim penghujan. Agar hasilnya lebih baik berikan pupuk dasar jika memungkinkan, lapisan tanah atas dari galian lubang dicampur dengan kompos, dan pemberian mulsa sebanyak-banyaknya asalkan tidak menciptakan bahaya kebakaran atau media perkembangbiakan rayap.

Selain itu juga ditanami tanaman multiguna atau tanaman pertanian secara selang seling terhadap pepohonan pada jarak tertentu. Misalnya pada luas areal tertentu ditanami tanaman multiguna, kemudian diberi jarak yang cukup jauh untuk menanam pohon besar, dan begitu seterusnya. Penanaman pohon besar dengan pohon besar lainnya pun perlu di berikan jarak sesuai dengan situasi dan kondisi lahan, sehingga ada ruang untuk tanaman sela. Pemberian jarak dan penanaman secara selang-seling ini dimaksudkan untuk menghindari bahaya kebakaran yang mungkin timbul serta mengurangi persaingan makanan antar tanaman. Selain itu juga menjadikan lahan hutan lebih produktif.

Tumbuhan pohon bisa tumbuh sangat besar dan tinggi dalam waktu yang cukup lama, sehingga pekerja dapat memanfaatkan waktu untuk mendampingi tanaman multiguna atau tanaman pangan. Untuk mengurus dan merawat tananaman pangan misalnya padi, tetap dengan cara seperti biasa. Kemudian cara ini juga diterapkan pada area tumbuhan pohon besar. Selayaknya padi, dipanen jika seluruh benih telah timbul dan masak, begitu pula pada pohon kayu. Hingga semua pohon benar-benar masak seluruhnya, barulah penebangan dilakukan. Tetapi disini, penebangan tidak dilakukan di semua area pohon besar. Pohon besar di daerah puncak gundukan tidak ditebang walaupun sudah waktunya. Pohon-pohon disana tetap dibiarkan dengan maksud jika pohon-pohon pada daerah di bawahnya telah di tebang maka pohon di bagian atas akan menebarkan bijinya ke daerah tersebut dan biji-biji tumbuh hingga menjadi pohon besar kembali, dan begitulah seterusnya. Dengan istilah kasarnya hanya tinggal memanen saja tanpa memerlukan banyak peran output. Biji pada pepohonan di daerah puncak gundukan tentu menyebar di segala arah, termasuk juga ke area tanaman multiguna. Agar pohon besar tidak tumbuh di daerah ini, pohon tersebut hanya perlu dipindahkan ke area pohon kayu ketika pohon masih berukuran kecil. Pohon-pohon kayu ketika masih memiliki akar muda, kembali jaraknya disesuaikan.

Apabila hal ini telah terwujud, kesejahteraan pekerjanya baik dari segi waktu dan ekonomi lebih meningkat. Selain itu, areal hutan produktif juga tetap dapat menjaga keseimbangan ekologi bumi.

Karena merupakan sistem pertanian dengan pendekatan yang tergolong baru, maka dalam aplikasinya agroforestri mungkin akan menimbulkan beberapa kendala seperti: kesulitan visual, kesulitan mengukur produktivitas, serta kurangnya pengetahuan tentang pengelolaan pohon pada lahan pertanian.

Dari segi visual, karena agroforestri terdiri dari banyak jenis tumbuhan, sehingga terjadi keberagaman bentuk, kemiripan dengan vegetasi hutan alam, dan kesulitan membedakannya dalam penginderaan jauh (remote sensing) menjadikan bentang hamparan agroforestri sulit dikenali. Kebanyakan agroforestri dalam peta-peta resmi diklasifikasikan sebagai hutan sekunder, hutan rusak atau belukar, oleh karena itu biasanya disatukan ke dalam kelompok lahan yang menjadi target rehabilitasi lahan dan hutan. Namun hal ini dapat diatasi dengan perencanaan penanaman yang matang, misalnya jarak penanaman satu pohon dengan pohon lainnya teratur. Dalam pengindraan jauh akan terlihat tumbuhan-tumbuhan yang tersusun rapi.

Selain kendala tadi terdapat pula kendala lain yaitu sektor ekonomi pertanian terbiasa dengan perhatian hanya kepada jenis tanaman dan pola penanaman yang teratur rapi. Biasanya mereka enggan memberi perhatian terhadap nilai pepohonan yang non-komersial. Mereka juga biasanya tidak memiliki latar belakang yang cukup untuk mengenali manfaat ekonomi spesies pepohonan dan herba/semak. Untuk tanaman non-komersial tetap dapat bermanfaat, walaupun memang tidak memiliki nilai ekonomis tetapi dapat dimanfaatkan untuk hal lain terutama untuk mendukung pertumbungan tumbuhan utama.

Sedangkan, penyisipan pohon diantara tanaman semusim, akan menimbulkan masalah yang sering merugikan petani karena kurangnya pengetahuan petani akan adanya interaksi antar tanaman. Untuk mengatasi kendala ini saat penanaman perlu diberikan jarak yang sesuai antar tumbuhan, sehingga tidak timbul masalah seperti persaingan makanan.

Berdasarkan uraian terdahulu, maka dapat disimpulkan bahwa agroforestri merupakan pendekatan tepat guna untuk menumbuhkan kepedulian masyarakat terhadap kelestarian hutan. Faktanya terlihat bahwa agroforestri yang tersusun selang-seling dapat menghindari terjadinya bahaya kebakaran yang mungkin timbul serta mengurangi persaingan makanan antar tanaman. Selain itu juga menjadikan lahan hutan lebih produktif. Dengan demikian dapat meningkatkan keefektifan lahan sehingga menunjang perekonomian pekerjanya, selain itu juga secara tidak langsung dapat membentuk hutan yang sehat sehingga tetap berfungsi untuk menjaga keseimbangan bumi.


DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2001. Bab 4: Agroforestri. Jakarta

Anonim. 2006. Sebaran Kawasan Konservasi Sampai Dengan Tahun 2006. Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Jakarta http://www.dephut.go.id/INFORMASI/STATISTIK/2006/II11_06.pdf

Anonim. 2008. Lomba Tulis YPHL : Strategi Membangun Kepedulian Demi Kelestarian Hutan. Kabar Indonesia Online. Jakarta www.kabarindonesia.com

De Foresta, H. and G. Michon. 1997. The Agroforest Alternative To Imperata Grasslands: When Smallholder Agriculture And Forestry Reach Sustainability. Agroforestry Systems 36:105-120

Rochma, Malia. 2008. Economic Review No. 211: Prospek Sektor Transportasi di Indonesia. Bank Nasional Indonesia. Jakarta
http://www.bni.co.id/Portals/0/Document/Transportasi.pdf

Sagala, Porkas. 2002. Mengelola Lahan Hutan yang Benar. Buku Obor. Jakarta.

Sumber:
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&jd=Lomba+Tulis+YPHL:+Agroforestri+Sebagai+Suatu+Pendekatan+Untuk+Membangun+Kepedulian+Masyarakat+Terhadap+Kelestarian+Hutan&dn=20081030214657. 30 Okt 2008
30 Maret 2009

Sumber Gambar:
http://www.bioman.ceh.ac.uk/images/agrofo1.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar