Selasa, 29 Desember 2009

Pemilihan Jenis Pohon Agroforestri


Petani menanaman pohon karena dua alasan, yaitu untuk produksi dan pelayanan (servis). Untuk produksi artinya untuk bahan bangunan, kayu bakar, obat-obatan dll. Sedangkan yang bersifat pelayanan adalah untuk pengendalian erosi, meningkatkan kesuburan, memperbaiki struktur tanah, konservasi biodiversitas dan tentu saja untuk penyimpanan karbon dan mengurangi efek rumah kaca. Menurut Suryanto et al (2005), Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan jenis untuk ditanam:

1. Tujuan penanaman
2. Jenis potensial dan tersedia
3. Jenis yang bisa tumbuh di lokasi

Tujuan penanaman misalnya :

1. Untuk penghara industri
2. Untuk pemanfaatan domestik
3. Perlindungan lingkungan
4. Bagian integral pembangunan pedesaan.

Dalam pemilihan dan penanaman jenis pohon dalam agroforestri dikenal istilah ”Domestikasi Pohon”. Domestikasi pohon agroforestri adalah usaha percepatan dan evolusi yang dipengaruhi oleh manusia yang membawa jenis-jenis tertentu ditanam secara luas melalui kebutuhan petani atau proses arahan pasar. Domestikasi pohon meliputi serangkaian kegiatan-kegiatan eksplorasi dan pengumpulan populasi genetik alam atau antropogenik, evaluasi dan seleksi jenis dan provenan yang sesuai, pengembangan teknik pengelolaan, pemanfaatan dan pemasaran hasi pohon dan pembangunan dan penyebaran informasi teknis (Suryanto et al, 2005).

Dalam sistem agroforestri pohon-pohonan memberikan penutup secara permanen, dengan demikian dapat lebih banyak menggunakan energi matahari. Pohon-pohonan dapat memperkaya tanah dengan seresah yang gugur diatasnya, dan dapat juga merubah iklim mikro. Keuntungan-keuntungan lainnya yang bisa didapat dengan penanaman pohon-pohonan:

1. memberikan diversifikasi hasil. Disamping buah dapat juga dimanfaatkan kayunya
2. memberikan jaminan terhadap kegagalan hasil, kerena pohon-pohonan merupakan “modal berdiri’
3. berpengaruh baik terhadap tata air
4. mengurangi terjadinya suhu-suhu ekstrim, baik di udara,dalam tanah, dan dalam batang dan daun, sehingga meningkatkan produktivitas tanaman pertanian
5. dapat mengurangi kerusakan-kerusakan terhadap tanaman pertanian yang disebabkan oleh hujan yang deras

Peningkatan produktivitas sistem agroforestri dapat dilakukan melalui diversifikasi hasil dari komponen yang bermanfaat, dan menurunkan jumlah masukan atau biaya produksi. Contoh upaya penurunan masukan dan biaya produksi yang dapat diterapkan dalam sistem agroforestri: Penggunaan pupuk nitrogen dapat dikurangi dengan pemberian pupuk hijau dari tanaman yang bersimbiosis dengan bakteri penambat nitrogen.

Kandungan nitrogen di udara sebanyak ± 78%, tetapi nitrogen ini tidak dapat langsung dimanfaatkan oleh tanaman. Tanaman tertentu bersimbiosis dengan bakteri penambat Nitrogen Rhizobium dan Frankia yang mampu mengikat nitrogen dari udara dan menyediakannya bagi kebutuhan tanaman.

Beberapa Jenis pohon yang bersimbiosis dengan bakteri penambat nitrogen adalah: Acacia auriculiformis, Acacia mangium, Paraserianthes falcataria, Casuarina equasetifolia, Erythrina variegata L, Intsia bijuga, Intsia palembanica,
Intsia ambonensis, Tamarindus indicus Linn, Pterocarpus indicus Willd, Inocarpus fagifer, Pongamia pinnata, Gliricidia sepium dan Leucaena leucocephala.

Di samping jenis yang bersimbiosis dengan bakteri penambat nitrogen, jenis-jenis lain seperti Artocarpus elasticus, Artrocarpus interger, Anthocephalus chinensis, Urophyllum polyneurum, Macaranga gigantea, dan Macaranga winkleri adalah sumber-sumber nitrogen yang baik, karena daunnya berkadar nitrogen yang tinggi.
Kadar phosphorus yang tinggi terdapat pada daun Artocarpus interger, Anthocephalus chinensis, Cananga odorata, Lindera lucida, Nephelium lappaceum, Pithecellobium microcarpum dan Symplocos fasciculata sedangkan potassium dengan kadar tinggi terdapat pada daun Artocapus elasticus, Artocarpus interger, Bridelia glauca, Eusideroxylon zwageri, Lindera lucida, Nauclea orientalis, Payena lucida dan Saurauia subcordata.

Kadar calcium yang tinggi didapat pada Artocarpus elasticus, Bridelia gluaca, Cananga odorara, Cratoxylum sumatranum, Duabanga molucanna dan Symplocos fasciculata, sedangkan kadar magnesium yang tinggi didapat pada Cananga odorata, Macaranga gigantea, Macaranga winkleri, Saurania subcordata dan Symplocos fasciculata. Jenis- jenis ini dapat digunakan untuk memperbaiki tanah-tanah rusak/kritis.

Sumber :
http://irwantoforester.wordpress.com/pemilihan-jenis-pohon-agroforestri/

Sumber Gambar:
http://www.banana-tree.com/catalog%20images/image267.jpg

Minggu, 06 Desember 2009

Arah Pengembangan Agroforestri


Pengertian sistem agroforestri mencakup upaya untuk memperoleh hasil atau produksi dari kombinasi tanaman (semusim), pepohonan, dan/atau ternak (hewan) secara bersama baik sekaligus atau secara bergiliran melalui pengelolaan lahan yang terjangkau secara sosial, ekonomi dan budaya.

Pengertian ini mencakup bagaimana seharusnya sistem agroforestri dilaksanakan untuk mencapai tujuannya. Salah satu sasaran utama dari setiap usaha pertanian termasuk agroforestri adalah produksi yang berkelanjutan (sustainable) yang dicirikan oleh stabilitas produksi dalam jangka panjang.

Beberapa indikator terselenggaranya sistem pertanian yang berkelanjutan adalah (a) dapat dipertahankannya sumber daya alam sebagai penunjang produksi tanaman dalam jangka panjang, (b) penggunaan tenaga kerja yang cukup rendah, (c) tidak adanya kelaparan tanah, (d) tetap terjaganya kondisi lingkungan tanah dan air, (e) rendahnya emisi gas rumah kaca serta (f) terjaganya keanekaragaman hayati (Van der Heide et al., 1992; Tomich et al., 1998). Tidak adanya kelaparan tanah pada sistem tersebut, dapat diartikan sebagai cukupnya kandungan bahan organik tanah, terpeliharanya kesetimbangan unsur hara, terpeliharanya struktur dan kondisi biologi tanah serta adanya perlindungan tanaman terhadap gulma, hama dan penyakit.
Pengembangan agroforestri meliputi berbagai tingkatan: mikro, meso dan makro. Keberlanjutan sistem produksi usaha tani agroforestri pada tingkatan mikro merupakan titik berat bahan kuliah ini. Namun demikian, upaya ini tidak bisa terlepas dari tingkatan yang lebih tinggi (meso dan makro).

Kebijakan nasional, regional dan internasional melalui pemberlakuan berbagai peraturan dan undang-undang (hukum) dapat mendorong pengembangan atau justru menghancurkan praktek-praktek agroforestri. Produk pertanian atau agroforestri yang dipasarkan di tingkat lokal sampai regional seringkali tidak dapat terlepas dari pengaruh sistem yang lebih tinggi seperti perdagangan internasional, aliran penanaman modal (investasi) dan kebijakan fiskal melalui pajak.

Pengembangan agroforestri di tingkat petani (mikro) memerlukan dukungan kebijakan nasional maupun regional yang tepat secara terus-menerus bagi kelembagaan keuangan, teknis, penelitian, dan pemasaran.
Sistem agroforestri memiliki keluwesan dalam merespons berbagai gejolak atau perubahan mendadak, baik fisik (iklim, hama), maupun perubahan ekonomi dan moneter (pasar, harga). Keluwesan berbagai praktek agroforestri memungkinkan menjadi penyangga (buffer) terhadap berbagai gejolak, paling tidak untuk sementara waktu atau jangka pendek. Oleh karena itu sistem agroforestri merupakan salah satu alternatif penggunaan lahan yang diharapkan mampu bersaing dengan sistem-sistem lainnya.
Pengembangan agroforestri, menurut Raintree (1983) meliputi tiga aspek, yaitu (a) meningkatkan produktivitas sistem agroforestri, (b) mengusahakan keberlanjutan sistem agroforestri yang sudah ada dan (c) penyebarluasan sistem agroforestri sebagai alternatif atau pilihan dalam penggunaan lahan yang memberikan tawaran lebih baik dalam berbagai aspek (adoptability).

Produktivitas

Produk yang dihasilkan sistem agroforestri dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni (a) yang langsung menambah penghasilan petani, misalnya makanan, pakan ternak, bahan bakar, serat, aneka produk industri, dan (b) yang tidak langsung memberikan jasa lingkungan bagi masyarakat luas, misalnya konservasi tanah dan air, memelihara kesuburan tanah, pemeliharaan iklim mikro, pagar hidup, dsb. Peningkatan produktivitas sistem agroforestri diharapkan bisa berdampak pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani dan masyarakat desa.
Peningkatan produktivitas sistem agroforestri dilakukan dengan menerapkan perbaikan cara-cara pengelolaan sehingga hasilnya bisa melebihi yang diperoleh dari praktek sebelumnya, termasuk jasa lingkungan yang dapat dirasakan dalam jangka panjang. Namun demikian, keuntungan (ekonomi) yang diperoleh dari peningkatan hasil dalam jangka pendek seringkali menjadi faktor yang menentukan apakah petani mau menerima dan mengadopsi cara-cara pengelolaan yang baru.

Perbaikan (peningkatan) produktivitas sistem agroforestri dapat dilakukan melalui peningkatan dan/atau diversifikasi hasil dari komponen yang bermanfaat, dan menurunkan jumlah masukan atau biaya produksi. Contoh upaya penurunan masukan dan biaya produksi yang dapat diterapkan dalam sistem agroforestri:
penggunaan pupuk nitrogen dapat dikurangi dengan pemberian pupuk hijau dari tanaman pengikat nitrogen sistem agroforestri berbasis pohon ternyata memerlukan jumlah tenaga kerja yang lebih rendah dan tersebar lebih merata per satuan produk dibandingkan sistem perkebunan monokultur.

Keberlanjutan

Sasaran keberlanjutan sistem agroforestri tidak bisa terlepas dari pertimbangan produktivitas maupun kemudahan untuk diadopsi dan diterapkan. Sistem agroforestri yang berorientasi pada konservasi sumber daya alam dan produktivitas jangka panjang ternyata juga merupakan salah satu daya tarik bagi petani. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan petani pada saat mereka merencanakan untuk menerapkan upaya konservasi, misalnya kepastian status lahan, pendapatan dalam jangka pendek, dan sebagainya. Ada pendapat yang menyarankan agar petani diberi insentif untuk mendorong supaya mereka mau menerapkannya. Seringkali insentif ini diwujudkan dalam bentuk subsidi bagi petani (khususnya di negara maju). Di negara berkembang, insentif tersebut diberikan dalam bentuk bantuan teknologi seperti teknikteknik konservasi lahan.

Dalam sistem agroforestri terdapat peluang yang cukup besar dan sangat terbuka untuk melakukan pendekatan yang memadukan sasaran keberlanjutan untuk jangka panjang dengan keuntungan produktivitas dalam jangka pendek dan menengah.
Kemudahan Untuk Diadopsi

Kegagalan penyebarluasan praktek agroforestri di kalangan petani seringkali disebabkan oleh kesalahan strategi, bukan karena keunggulan komparatif sistem itu sendiri. Oleh sebab itu alasan bahwa petani sangat konservatif dan ketidak-berhasilan penyuluh sebenarnya kurang tepat. Sebuah pendekatan yang lebih konstruktif yang bisa dilakukan adalah dengan memikirkan permasalahan dalam penyusunan rancangan dan memasukkan pertimbangan kemudahan untuk diadopsi sedini mungkin (sejak tahap rancangan). Hal ini tidak berarti bahwa kedua alasan di atas tidak benar, melainkan lebih ditekankan kepada proses penyuluhan dan adopsinya yang sangat kompleks.
Peluang untuk berhasil akan lebih besar apabila proses itu dimulai dengan dasar teknologi yang dapat diadopsi. Salah satu cara terbaik adalah dengan melibatkan secara aktif pemakai (user) teknologi tersebut (petani agroforestri) dalam proses pengembangan teknologi sejak dari tahap penyusunan rancangan, percobaan, evaluasi dan perbaikan rancangan inovasi teknologi.

Perlu dipahami bahwa agroforestri bukanlah jawaban dari setiap permasalahan penggunaan lahan, tetapi keberagaman sistem agroforestri merupakan koleksi opsi pemecahan masalah yang dapat dipilih oleh petani sesuai dengan keinginannya. Apa yang dibutuhkan adalah cara yang sistematis untuk memadukan (matching) kebutuhan teknologi agroforestri dengan potensi sistem penggunaan lahan yang ada.

Sumber :
http://www.acehpedia.org/Arah_Pengembangan_Agroforestry
30 Maret 2009

Sumber Gambar:
http://www.extension.umn.edu/distribution/naturalresources/images/7407n.jpg

ICRAF-IPB Kembangkan Model Agroforestri

Pusat Agroforestri Dunia (ICRAF) dan Institut Pertanian Bogor (IPB) bekerja sama mengembangkan model agroforestri berupa penanaman sayuran di bawah tegakan pohon di tiga desa di Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

"Model agroforestri tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan petani sekaligus menekan kegiatan penebangan pohon di sekitar Taman Nasional Gunung Halimun," kata koordinator negara untuk proyek tersebut Dr Anas D Susila di Bogor, Rabu.

Penelitian yang mencakup teknologi, pemasaran, pengaruh ekonomi dan lingkungan ini didanai oleh US Agency for International Development (USAID) melalui SANREM-CRSP, suatu konsorsium yang mendorong perguruan tinggi di Amerika Serikat untuk melakukan penelitian di bidang pertanian berkelanjutan dan manajemen sumberdaya alam di negara berkembang. Selain Indonesia, penelitian juga dilakukan di Filipina dan Vietnam.

Agroforestri adalah teknik penanaman yang memadukan tanaman kayu berumur panjang dengan tanaman palawija, peternakan atau perikanan di dalam atau di luar kawasan hutan. Pola tanam agroforestri dilakukan untuk rehabilitasi hutan dengan melibatkan petani miskin yang memiliki lahan sempit di sekitar hutan.

Tiga desa yang dijadikan model agroforestri tersebut adalah Desa Hambaro, Sukaluyu, dan Parakan Muncang. Penelitian dilakukan sejak September 2006 hingga September 2009. Kecamatan Nanggung dipilih sebagai lokasi pengembangan model karena letaknya yang dekat dengan Taman Nasional Gunung Halimun yang dinilai sebagai salah satu kawasan konservasi yang rawan perambahan.

"Kegiatan utama penelitian ini adalah merakit dan memperkenalkan teknologi budidaya sayuran yang berkelanjutan di bawah tegakan pohon. Diharapkan pendapatan petani bisa meningkat sehingga mereka tidak lagi menebang pohon untuk biaya hidup," kata Anas yang juga pengajar pada Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB.

Jenis sayuran yang dikembangkan adalah sayuran lokal seperti katuk, terubuk, honje, dan kucai. "Selain itu, kami juga mengembangkan teknologi budidaya tanaman sayuran komersial di lahan dengan tingkat keasaman rendah dan kadar aluminium tinggi untuk tanaman kacang panjang, cabe, tomat, terong, dan kangkung," katanya.

Selama ini masyarakat di Nanggung terbiasa menanam sayuran di lahan terbuka dengan sinar matahari penuh. "Dari model agroforestri tersebut, diketahui bahwa tanaman katuk ternyata lebih bagus ditanam di bawah tegakan pohon," katanya.

Keberhasilan dalam mengembangkan model ini diharapkan bisa diperluas ke daerah lain. "Hasil penelitian ini juga akan berdampak pada keberlanjutan perpanjangan proyek penelitian SANREM-SRSP lima tahun ke depan pada 2010-2014, di mana Indonesia masih tetap diharapkan menjadi salah satu negara tuan rumah," katanya. ant/ism

Sumber :
Republika Newsroom
http://www.republika.co.id/berita/55581/ICRAF_IPB_Kembangkan_Model_Agroforestri
10 Juni 2009

Inovasi Agroforestri untuk Meningkatkan Produktifitas Karet

Di Jambi, pembukaan lahan untuk kebun karet dengan pola tebas-tebang-bakar sudah menjadi tradisi. Lahan yang sudah bersih lalu ditanami secara tumpangsari, yaitu tanaman pangan dengan karet. Ketika tajuk karet mulai menaungi sehingga produksi tanaman pangan menurun, petani meninggalkan kebun karet mudanya tanpa pemeliharaan dan kembali lagi saat karet siap sadap. Karena lama tak terurus, produksi karet dari kebun tidak memuaskan.

“Produksi karet rakyat di Kabupaten Bungo masih di bawah 600 kg/ha/tahun. Sebagai komoditas unggulan, ini tergolong rendah,” ungkap Ratna Akiefnawati, peneliti World Agroforestry Centre (ICRAF) yang berkantor di Jl. Tembesu 21, Muara Bungo, Jambi.

Ratna menjelaskan bahwa salah satu penyebab rendahnya produksi adalah penggunaan bibit karet bermutu rendah. Sumber bibit biasanya berupa karet cabutan atau biji sapuan (seedling). Pemeliharaan yang dilakukan juga sangat minim.

“Kalau berbicara tentang produksi karet rakyat, memang seperti itulah adanya. Tentu saja hasilnya masih sangat rendah dan jauh dari yang diharapkan,” jelas Dr Laxman Joshi, peneliti ICRAF yang lama berkecimpung dalam penelitian sistem agroforestri karet di Jambi.

Di sisi lain, sistem agroforesti karet di Bungo ternyata memiliki aspek positif terutama berkaitan dengan tingginya tingkat keragaman hayati yang mendekati kondisi hutan sekunder. Penelitian yang dilakukan para peneliti ICRAF menunjukkan beberapa bukti.

Tahun 2006, penelitian Rasnovi di Kabupaten Bungo dan Kabupaten Tebo menunjukkan sebanyak 62,69% jenis anakan tumbuhan berkayu yang ditemukan beregenerasi di hutan juga ditemukan di agroforestri karet.

Calestreme (2004), Prasetyo (2007), Hendarto (2007), dan Hariyanto (2007) menyimpulkan bahwa agroforestri karet dapat menampung 31 jenis mamalia yang menjadikan agroforestri karet sebagai penyedia sarang dan makanan, area migrasi, tempat hidup hewan langka. Di dalam agroforestri karet juga ditemukan 12 jenis kelelawar pemakan buah dan serangga, 6 jenis primata serta 46 jenis kumbang tinja yang dapat digunakan sebagai indikator agroforestri karet sebagai lingkungan yang menyerupai hutan.

Berangkat dari kenyataan rendahnya produksi karet serta perlunya penyelamatan ekosistem agroforestri karet yang kaya keragaman hayati, maka pada tahun 1996, ICRAF memulai penelitian bersama CIRAD (organisasi Perancis dengan spesialisasi penelitian pertanian untuk pembangunan di daerah tropis dan sub-tropis), Balai Penelitian Sembawa - Pusat Penelitian Karet, dan beberapa universitas dalam maupun luar negeri.

“Kami berusaha memahami tradisi pemanfaatan lahan para petani. Ternyata tradisi tersebut banyak menyimpan kearifan lokal,” papar Laxman yang juga ahli dalam bidang etno-ekologis.

Berdasarkan pemahaman tersebut, ICRAF berusaha menjawab pertanyaan bagaimana meningkatkan produksi agroforestri karet, namun di sisi lain keragaman hayati tetap terjaga.

Penelitian yang bertajuk Smallholder Rubber Agroforesty Project (SRAP) antara lain didanai oleh USAID (1996-1998) dan DFID (1998-2001). SRAP lalu dilanjutkan dengan Smallholder Rubber Agroforestry System (SRAS) yang didanai oleh Common Fund for Commodities (CFC) dan dipantau oleh International Rubber Study Group (IRSG) antara 2004-2008.

Melalui SRAP dan SRAS, ICRAF memperoleh jawaban. Untuk meningkatkan produktifitas agroforestri karet, ICRAF memperkenalkan inovasi agroforestri karet yang dinamakan RAS 1, RAS 2, dan RAS 3. Ketiga inovasi tersebut dikembangkan berdasarkan pengalaman di lokasi-lokasi penelitian di Kabupaten Bungo - Jambi, Kabupaten Pasaman - Sumatera Barat, dan Kabupaten Sanggau - Kalimantan Barat.

“Hasil sadap karet dalam ketiga sistem RAS yang diperkenalkan tersebut berkisar antara 1100-1700 kg/ha/tahun. Kenyataan ini tentu saja menggembirakan bagi petani,” kata Ratna.

Dibandingkan dengan sistem penanaman karet monokultur, ketiga sistem RAS tidak memerlukan pengelolaan yang terlalu intensif. Hal ini memungkinan tumbuhnya beragam tumbuhan yang berguna bagi konservasi fauna dan flora. Para petani juga mendapatkan keuntungan tambahan dari hasil buah-buahan atau pohon kekayuan. Lingkungan agroforestri karet menjadi rumah tinggal alternatif bagi fauna yang mulai terancam punah karena kehancuran hutan alam, habitat hidup mereka.

Diharapkan bila nanti mekanisme imbal jasa atas pengurangan emisi karbon melalui pencegahan deforestasi dan degradasi dilaksanakan, kemungkinan besar petani agroforestri karet juga akan memperoleh insentif tambahan.

“Saat ini saja, keberadaan demplot penelitian dan berbagai kegiatan kunjungan lapangan yang dilakukan ICRAF sudah mampu memberikan dampak positif bagi masyarakat setempat. Pengetahuan petani bertambah dan mereka tidak lagi ragu menanam karet unggul dengan sistem agroforestri,” tambah Ratna.

Sumber :
Aunul Fauzi, Ratna Akiefnawati, Janudianto
http://kiprahagroforestri.blogspot.com/2008/12/inovasi-agroforestri-untuk-meningkatkan.html
1 Januari 2009

Berharap pada Agroforestri: Sebuah Transformasi

Pun lahir para pecinta
Dan pulanglah si pelibas
Kencanaku pun menyusu lagi oleh mereka

: Borneo, borneo;-
Kupanggil hijaumu pulang
Meninggali gambut bumimu

Borneo, borneo;-
Macan dahan biarlah kembali
Murai batumu biarlah menyanyi lagi

(Menarilah lagi, wahai kencana)

…….

Puisi oleh Norman Erikson P

Kalimantan pernah disebut hutan hujan terkaya di sabuk khatulistiwa. Kekayaan alam tersebut membanggakan sumbangsih kita sebagai paru-paru dunia. Terlebih kearifan lokal masyarakat dayak yang memiliki filosofi manyalamat petak danum yang berarti bahwa sumber daya alam harus dilestarikan untuk anak cucu dan keturunan selanjutnya.

Dengan berbagai terpaan kebijakan pembangunan yang eksploitif di bumi Kalimantan sejak awal pemerintahan orde baru, telah membabat secara besar-besaran hutan tambun bungai. Kayu sempat menjadi dewa uang bagi pendatang dan penduduk lokal yang andil mengeksploitasi. Setelah semua habis ditebang, ironisnya tidak berdampak pada perbaikan kualitas hidup masyarakat, yang tersisa hanya rasa sakit akibat kebakaran dan asap. Dan penduduk lokal pun tidak merasakan dampak apapun terhadap perubahan ekonomi.


Melakukan Perubahan, Memulai dari Nol

Disebuah desa, jauh dari ibukota Kasongan, terdapat masyarakat yang bermukim disekitar pinggiran hilir sungai Katingan, dekat perbatasan Taman Nasional Sebangau. Kala itu desa ini masih cukup ramai, namun pasca kebijakan pelarangan pembalakan kayu dan ditetapkannya Sebangau sebagai kawasan yang dilindungi sempat mengagetkan masyarakat sekitar yang hidup dari aktifitas menebang.

Sejak bulan Juli 2008 masyarakat di wilayah Taman Nasional Sebangau memperoleh pelatihan agroforestri, okulasi, kompos, penguatan kelembagaan dan analisis usaha tani bagi kelompok–kelompok pelaku. Agroforestri menjadi salah satu bentuk metode populer bersifat tradisional dalam sistem, atau teknologi penggunaan lahan yang memiliki kaitan yang erat dengan berbagai aspek sosial-budaya di masyarakat. Program ini menjadi salah satu alternatif pendapatat ekonomi masyarakat lokal yang sebelumnya bekerja dari hasil tebangan.

Selain memiliki kaitan erat dengan aspek social-budaya, tetapi juga aspek ekologi. Calestreme (2004), Prasetyo, Hendarto dan Hariyanto (2007) berasumsi bahwa agroforestri karet dapat menampung 31 jenis mamalia yang menjadikan agroforestri karet sebagai penyedia sarang dan makanan serta tempat hidup hewan langka. Di dalam agroforestri karet bias dijadikan rumah bagi 12 jenis kelelawar pemakan buah dan serangga, 6 jenis primata serta 46 jenis kumbang tinja yang dapat digunakan sebagai indikator agroforestri karet sebagai lingkungan yang menyerupai hutan.

Masuknya agroforestri di wilayah Taman nasional Sebangau sebagai alternative penguatan ekonomi merupakan langkah perubahan dan transformasi. Masyarakat yang mayoritas asli dayak yang terbiasa bekerja sebagai nelayan dan penebang kayu tiba-tiba dihadapkan sebuah alternative pekerjaan yang lain yaitu sebagai petani. “Kebetulan karena illegal logging ditutup, masyarakat berpikir untuk nanam karet. Kami menjadi memulai segalanya dari nol. Tidak semua masyarakat saat itu menerima program agroforestri. Kendati sebagaian masyarakat kurang paham dan menduga program ini hanyalah merugikan masyarakat karena ditakutkan hasilnya akan diambil oleh pihak fasilitator (WWF-red). Tapi sejak proses pelatihan beberapa kali, kami menyadari bahwa kegiatan ini hasilnya akan dinikmati sendiri oleh masyarakat” Ujar Anjar Sugiarto, seorang petani dari kelompok RONEN BATUAH.


Belajar Menjadi Mandiri

Kini masyarakat di beberapa desa sekitar Sebangau sudah memiliki beberapa kebun entres yang ditanami karet dan buah-buahan seluas 1 Ha tiap desa-nya. Penentuan lahan dan pengelolaannya ditentukan sendiri oleh masyarakat yang dibagi dalam kelompok-kelompok tani. Pola pengorganisasian-nya seperti ini, satu desa dibentuk 4 kelompok dimana masing-masing kelompok ada 8-10 orang. Pembagian kebun yang seluas 1 hektar tersebut dibagi menjadi 8 balur. Masing-masing kelompok otomatis mendapat 2 balur untuk dikelola mulai dari penanaman, perawatan hingga panen.

Untuk memberikan motivasi bagi kelompok tani yang menerapkan perawatan dan keseriusan dalam mengelola kebun entres (bank bibit), WWF bersama mitranya pernah menyelenggarakan perlombaan. Warga Kecamatan Kamipang sekitar Taman Nasional Sebangau mengikuti lomba kebun agroforestry pada bulan Desember 2008 lalu. Dari hasil penilaian, juara I diraih oleh desa Tumbang Ronen, Juara II diraih oleh desa Baun Bango, Juara III diraih oleh desa Jahanjang, juara IV diraih oleh Asem Kumbang, juara V diraih Keruing dan Juara VI diraih oleh desa Perupuk.

Pasca pelatihan yang difasilitasi oleh Balai Taman Nasional Sebangau dan WWF-Indonesia, petani mengorganisir kelompoknya sendiri seperti melakukan pertemuan kelompok dan perawatan kebun. “Hanya gara-gara musim kemarau sekitar dua bulan ini kami tidak turun karena jalan ke kebun sangat jauh dari desa kami. Melewati sungai sejauh 300 m, kemudian dari dermaga kami berjalan kaki 400m lagi. Kendati alat kami yang sangat terbatas, mesin pompa menjadi tidak berfungsi dimusim kering untuk menyiram kebun karet dan buah-buahan kami, karena sumur dan sungai-sungai menjadi kering sehingga seharusnya dibutuhkan alat selang di sungai utama”, kisah Anjar berharap.

Pria berusia 27 tahun ini meyakinkan bahwa petani-petani di desanya sangat optimis terhadap program agroforestri ini. “ Bahkan kami sering melakukan swadaya sendiri dengan cara jika ada yang tidak ikut berangkat kerja bakti rutin maka diharuskan membayar kas sejumlah tigapuluh lima ribu. Tidak ada yang berkeberatan, bahkan semakin besar semangat kami untuk mengelola kebun.”, tukas bapak beranak dua juga bekerja sebagai nelayan dan motoris sehari-harinya.

Masyarakat sekitar hutan Sebangau memang memiliki pekerjaan yang tidak tetap, jika air surut mereka menjadi nelayan. Saat diberi alternative untuk menjadi petani merupakan sebuah transformasi yang mengajarkan mereka untuk tidak terbiasa memperoleh segala sesuatu dengan instant. “Yang akhirnya kami pahami saat ini adalah dengan masuknya program agroforestri membawa kami menjadi masyarakat yang mandiri. Mimpi kami adalah berharap Tumbang Ronen agar menjadi bank bibit”, tukasnya sambil menutup pembicaraan.

Keterangan: Pulau Kencana adalah sebutan Pulau Kalimantan pada Jaman Jayabaya.

Sumber :
Tira Maya Malsesa
http://t1r4.wordpress.com/2009/07/07/berharap-pada-agroforestri-sebuah-transformasi/
7 Juli 2009

Senin, 30 Maret 2009

Agroforestry Di Lampung

Agroforestri, Mungkinkah Mengatasi Permasalahan Sosial dan Lingkungan?


Oleh : Budiadi

Agroforestry adalah teknik pertanaman yang memadukan tanaman kayu yang berumur panjang dengan tanaman pertanian (palawija), peternakan atau perikanan pada di dalam atau di luar kawasan hutan. Pola tanam agroforestry sudah dipraktekkan oleh manusia di muka bumi ini sejak jaman dahulu kala, tetapi ilmu agroforestry sendiri baru berkembang sejak tiga dekade yang lalu. Pola tanam agroforestry pada dasarnya dipraktekkan untuk satu tujuan yakni efisiensi penggunaan lahan, artinya dari sebidang lahan bisa dihasilkan berbagai produk yang bernilai ekonomi. Pola tanam agroforestry dipraktekkan secara luas dalam rangka rehabilitasi hutan dengan melibatkan petani miskin dan lapar lahan (land-less farmer) di sekitar hutan.

Masalah sosial-ekonomi pada pembangunan hutan

Peluso (1992) membuka wacana kemiskinan di sekitar hutan (jati di Pulau Jawa) dengan buku indah dengan judul `provokatif` yakni: rich forest poor people. Ia menyajikan data dan analisis sosial-ekonomi masyarakat sekitar hutan, ketika hutan dan pihak kehutanan masih cukup membantu (bukan memanfaatkan) petani. Pada tahun 70-an, petani berhak atas bermacam-macam insentif (berupa uang, beras dan/atau hewan ternak) jika mau mengambil posisi sebagai pesanggem, yakni menggarap tanah di hutan, mananam tanaman kehutanan dan memiliki hak atas tanaman pertanian yang ditanam olehnya.

Akan tetapi, kondisi pembangunan hutan sudah berubah. Hutan pada saat ini sudah miskin (baca: gundul), setelah terjadi banyak kasus gagal tanam. Kegagalan tanam adalah masalah kompleks yang sangat sulit ditelusur akar masalahnya: bisa ekologis, sosio-ekonomis atau politis, bahkan mismanagement dan misinterpretation. Akibatnya jelas, tiap musim penghujan datang bencana banjir dan tanah longsor menjadi momok bagi masyarakat. Di sisi lain, masyarakat sekitar hutan (petani) tetap dan semakin miskin. Pun petani yang terlibat dalam pembangunan hutan. Bagaimana mungkin menyejahterakan petani sekitar hutan, sementara pegawai kehutanan yang tingkat rendah pada saat ini juga dililit kemiskinan. Pada jaman dulu, pegawai tingkat rendahan pun punya akses terhadap hasil hutan, yang bisa menghasilkan tambahan pendapatan di luar gajinya. Namun pada saat ini, semua sudah berubah. Hutan sudah sangat miskin, pegawai kehutanan (sekali lagi yang tingkat rendahan) juga miskin, dan petani sekitar hutan semakin miskin. Jadilah diskursus: rich forest, poor people berubah menjadi poor forest for the poorest people.

Petani juga selalu menilai posisi hutan secara fisik dan jangka pendek. Ini tidak lepas dari urusan subsistensi. Padahal fungsi lain hutan yang `non-fisik` dan jangka panjang lebih utama, misalnya pengatur tata air, udara dan iklim global. Dalam jangka panjang hutan juga mampu mendukung kehidupan masyarakat sekitar hutan dan dunia di luar hutan, melalui peran hutan dalam pemeliharaan lingkungan dan mitigasi kerusakan iklim global. Akankah petani yang miskin dan kurang berpendidikan kita ajak berpikir panjang dan global?

Jadi, bagaimana mau mencetak kesejahteraan dari hutan dan bagaimana mau merawat lingkungan, jika hutan sudah tidak mampu untuk itu. Hutan sudah tidak mampu mendukung kesejahteraan rakyat dan kelestarian lingkungan. Hal ini ditambah dengan adanya wacana bahwa tidak mungkin mencetak petani yang makmur atau kaya jika hanya mengandalkan bertani di hutan. Untuk kasus hutan jati di Jawa, posisi tawar (bargaining position) petani sekitar hutan telah menurun seiring dengan: luas tanah pertanian yang menurun secara drastis, luas garapan di hutan yang terbatas (karena harus berbagi dengan yang lain), dan usaha di luar hutan yang tidak menjanjikan.

Agroforestry sebagai jalan tengah

Pada era 80-an, pemerintah Indonesia mengkampanyekan istilah "memanfaatkan setiap jengkal tanah untuk meningkatkan kesejahteraan". Kemudian pada era 90-an, muncul teknologi "pertanian vertikal" yang memanfaatkan setiap lapisan ruang di atas dan di bawah permukaan tanah untuk menghasilkan produk pertanian. Kedua terminologi teknis tersebut menunjukkan bahwa lahan untuk pertanian semakin sempit dan rata-rata kepemilikan lahan per kapita semakin menurun, terutama di Pulau Jawa. Bahkan, sejak tahun 60-an telah ditengarai adanya ketidakseimbangan antara ketersediaan tanah pertanian dengan pertumbuhan penduduk di pulau Jawa (Simon 1999). Di samping itu, daya dukung tanah juga semakin melemah, karena kualitas lahan yang semakin menurun yang disebabkan oleh pengikisan lapisan subur pada pemukaan tanah (erosi, sedimentasi dan run-off) pada tanah-tanah yang dikelola secara intensif.

Agroforestry pada dasarnya adalah pola pertanaman yang memanfaatkan sinar matahari dan tanah yang `berlapis-lapis` untuk meningkatkan produktivitas lahan. Ambil contoh berikut ini. Pada sebidang tanah, seorang petani menanam sengon (Paraserianthes falcataria) yang memiliki tajuk (canopy) yang tinggi dan luas. Di bawahnya, sang petani menanam tanaman kopi (Coffea spp) yang memang memerlukan naungan untuk berproduksi. Lapisan terbawah di dekat permukaan tanah dimanfaatkan untuk menanam empon-empon atau ganyong (Canna edulis) yang toleran/tahan terhadap naungan. Bisa dimengerti bahwa dengan menggunakan pola tanam agroforestry ini, dari sebidang lahan bisa dihasilkan beberapa komoditas yang bernilai ekonomi. Akan tetapi sebenarnya pola tanam agroforestry sendiri tidak sekedar untuk meningkatkan produktivitas lahan, tetapi juga melindungi lahan dari kerusakan dan mencegah penurunan kesuburan tanah melalui mekanisme alami. Tanaman kayu yang berumur panjang diharapkan mampu memompa zat-zar hara (nutrient) di lapisan tanah yang dalam, kemudian ditransfer ke permukaan tanah melalui luruhnya biomasa. Mekanisme ini juga mampu memelihara produktivitas tanaman yang berumur pendek, seperti palawija. Mekanisme alami ini menyerupai ekosistem hutan alam, yakni tanpa input dari luar, ekosistem mampu memelihara kelestarian produksi dalam jangka panjang. Pola tanam agroforestry yang dianggap paling mendekati struktur hutan alam adalah pekarangan atau kebun. Pada pekarangan/kebun, tanaman-tanaman tumbuh secara acak sehingga menciptakan struktur tajuk dan perakaran yang berlapis. Jadi manfaat ganda dari pola agroforestry (yang ideal dan konsisten) adalah peningkatan produktivitas dan pemeliharaan lingkungan.

Pola pertanaman yang diterapkan pada hutan jati di Jawa adalah tumpangsari, yang merupakan salah satu pola agroforestry. Tumpangsari di hutan jati di Jawa pada dasarnya sama dengan perladangan berpindah, dalam hal: memanfaatkan pembukaan hutan baru yang tanahnya masih subur. Sehingga tumpangsari sering disebut sebagai an improved shifting cultivation (Nair 1993). Prinsipnya tumpangsari yang konvensional hanya dilaksanakan selama tanah masih subur (dan sinar matahari masih cukup untuk palawija), sekitar 2-3 tahun pertama. Jika tidak ada input pemupukan oleh petani maka tumpangsari sudah dilakukan selama lebih dari 3 tahun dipastikan menghasilkan produktivitas yang rendah.

Pada dasarnya pola tanam agroforestry dapat dipisahkan menjadi dua yakni agroforesrty di dalam dan di luar kawasan hutan. Akhir-akhir ini berkembang wacana bahwa pertanaman kayu di luar kawasan hutan lebih menjanjikan daripada yang di dalam kawasan hutan. Sebagai misal, bahan baku industri ukir Jepara pada saat ini sebagian besar disuplai oleh kayu jati yang dihasilkan dari hutan rakyat di Gunung Kidul, dan bukan dari hutan jati. Gejala ini menunjukkan bahwa potensi dan kualitas hutan menurun setiap waktu, karena kurangnya rasa memiliki hutan sebagai penyangga lingkungan.

Lebih lanjut, pola tanam agroforestry di dalam kawasan hutan dapat dibedakan menjadi pertanaman yang menghasilkan non-timber forest product (NTFP) dan timber forest product. Pertanaman NTFP misalnya hutan kayu putih di Jawa atau eksploitasi damar mata kucing di Sumatra Selatan. Secara umum pertanaman agroforestry yang menghasilkan NTFP relatif lebih lestari daripada pertanaman yang memproduksi kayu. Pada kawasan yang memproduksi NTFP, komponen utama berupa tanaman kayu tidak dipanen, sehingga fungsinya sebagai hutan tetap terjaga.

Tantangan

Permasalahan yang perlu menjadi perhatian adalah adanya kesenjangan antara pola tanam agroforestry yang dilakukan masyarakat petani dengan konsep dan kemajuan penelitian tentang agroforestry. Petani masih berkutat dengan kemiskinan dan memenuhi urusan perut, sementara peneliti agroforestry berbicara tentang CO2 flux. Kalangan peneliti berharap besar pada agroforestry sebagai pola tanam yang mampu menyelamatkan lingkungan. Atau lebih sederhana, petani berbicara masalah mempertahankan hidup, peneliti berbicara kelestarian lingkungan global. Teknologi agroforestry mestinya sudah dipraktekkan secara modern tanpa meninggalkan fungsinya sebagai pendukung ketahanan masyarakat miskin.

Referensi

[1] Nair PKR (1993) An Introduction to Agroforestry. Kluwer Academis Publishers. The Netherlands, 499 pp

[2] Peluso NL (1992) Rich forest, poor people: resource control and resistance in Java. University of California Press, Ltd., California, 321 pp

[3] Simon H (1999) Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat: Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa. BIGRAF Publishing, Yogyakarta, Indonesia

Sumber :
Budiadi, Staf Pengajar Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta. karyasiswa di Kobe UniversityInovasi Online
ISSN : 0917-8376 | Edisi Vol.3/XVII/Maret 2005
http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=70

Sumber Gambar:
http://www.ecologyandsociety.org/vol5/iss2/art21/figure4.gif