Senin, 30 Maret 2009

Agroforestry Di Lampung

Agroforestri, Mungkinkah Mengatasi Permasalahan Sosial dan Lingkungan?


Oleh : Budiadi

Agroforestry adalah teknik pertanaman yang memadukan tanaman kayu yang berumur panjang dengan tanaman pertanian (palawija), peternakan atau perikanan pada di dalam atau di luar kawasan hutan. Pola tanam agroforestry sudah dipraktekkan oleh manusia di muka bumi ini sejak jaman dahulu kala, tetapi ilmu agroforestry sendiri baru berkembang sejak tiga dekade yang lalu. Pola tanam agroforestry pada dasarnya dipraktekkan untuk satu tujuan yakni efisiensi penggunaan lahan, artinya dari sebidang lahan bisa dihasilkan berbagai produk yang bernilai ekonomi. Pola tanam agroforestry dipraktekkan secara luas dalam rangka rehabilitasi hutan dengan melibatkan petani miskin dan lapar lahan (land-less farmer) di sekitar hutan.

Masalah sosial-ekonomi pada pembangunan hutan

Peluso (1992) membuka wacana kemiskinan di sekitar hutan (jati di Pulau Jawa) dengan buku indah dengan judul `provokatif` yakni: rich forest poor people. Ia menyajikan data dan analisis sosial-ekonomi masyarakat sekitar hutan, ketika hutan dan pihak kehutanan masih cukup membantu (bukan memanfaatkan) petani. Pada tahun 70-an, petani berhak atas bermacam-macam insentif (berupa uang, beras dan/atau hewan ternak) jika mau mengambil posisi sebagai pesanggem, yakni menggarap tanah di hutan, mananam tanaman kehutanan dan memiliki hak atas tanaman pertanian yang ditanam olehnya.

Akan tetapi, kondisi pembangunan hutan sudah berubah. Hutan pada saat ini sudah miskin (baca: gundul), setelah terjadi banyak kasus gagal tanam. Kegagalan tanam adalah masalah kompleks yang sangat sulit ditelusur akar masalahnya: bisa ekologis, sosio-ekonomis atau politis, bahkan mismanagement dan misinterpretation. Akibatnya jelas, tiap musim penghujan datang bencana banjir dan tanah longsor menjadi momok bagi masyarakat. Di sisi lain, masyarakat sekitar hutan (petani) tetap dan semakin miskin. Pun petani yang terlibat dalam pembangunan hutan. Bagaimana mungkin menyejahterakan petani sekitar hutan, sementara pegawai kehutanan yang tingkat rendah pada saat ini juga dililit kemiskinan. Pada jaman dulu, pegawai tingkat rendahan pun punya akses terhadap hasil hutan, yang bisa menghasilkan tambahan pendapatan di luar gajinya. Namun pada saat ini, semua sudah berubah. Hutan sudah sangat miskin, pegawai kehutanan (sekali lagi yang tingkat rendahan) juga miskin, dan petani sekitar hutan semakin miskin. Jadilah diskursus: rich forest, poor people berubah menjadi poor forest for the poorest people.

Petani juga selalu menilai posisi hutan secara fisik dan jangka pendek. Ini tidak lepas dari urusan subsistensi. Padahal fungsi lain hutan yang `non-fisik` dan jangka panjang lebih utama, misalnya pengatur tata air, udara dan iklim global. Dalam jangka panjang hutan juga mampu mendukung kehidupan masyarakat sekitar hutan dan dunia di luar hutan, melalui peran hutan dalam pemeliharaan lingkungan dan mitigasi kerusakan iklim global. Akankah petani yang miskin dan kurang berpendidikan kita ajak berpikir panjang dan global?

Jadi, bagaimana mau mencetak kesejahteraan dari hutan dan bagaimana mau merawat lingkungan, jika hutan sudah tidak mampu untuk itu. Hutan sudah tidak mampu mendukung kesejahteraan rakyat dan kelestarian lingkungan. Hal ini ditambah dengan adanya wacana bahwa tidak mungkin mencetak petani yang makmur atau kaya jika hanya mengandalkan bertani di hutan. Untuk kasus hutan jati di Jawa, posisi tawar (bargaining position) petani sekitar hutan telah menurun seiring dengan: luas tanah pertanian yang menurun secara drastis, luas garapan di hutan yang terbatas (karena harus berbagi dengan yang lain), dan usaha di luar hutan yang tidak menjanjikan.

Agroforestry sebagai jalan tengah

Pada era 80-an, pemerintah Indonesia mengkampanyekan istilah "memanfaatkan setiap jengkal tanah untuk meningkatkan kesejahteraan". Kemudian pada era 90-an, muncul teknologi "pertanian vertikal" yang memanfaatkan setiap lapisan ruang di atas dan di bawah permukaan tanah untuk menghasilkan produk pertanian. Kedua terminologi teknis tersebut menunjukkan bahwa lahan untuk pertanian semakin sempit dan rata-rata kepemilikan lahan per kapita semakin menurun, terutama di Pulau Jawa. Bahkan, sejak tahun 60-an telah ditengarai adanya ketidakseimbangan antara ketersediaan tanah pertanian dengan pertumbuhan penduduk di pulau Jawa (Simon 1999). Di samping itu, daya dukung tanah juga semakin melemah, karena kualitas lahan yang semakin menurun yang disebabkan oleh pengikisan lapisan subur pada pemukaan tanah (erosi, sedimentasi dan run-off) pada tanah-tanah yang dikelola secara intensif.

Agroforestry pada dasarnya adalah pola pertanaman yang memanfaatkan sinar matahari dan tanah yang `berlapis-lapis` untuk meningkatkan produktivitas lahan. Ambil contoh berikut ini. Pada sebidang tanah, seorang petani menanam sengon (Paraserianthes falcataria) yang memiliki tajuk (canopy) yang tinggi dan luas. Di bawahnya, sang petani menanam tanaman kopi (Coffea spp) yang memang memerlukan naungan untuk berproduksi. Lapisan terbawah di dekat permukaan tanah dimanfaatkan untuk menanam empon-empon atau ganyong (Canna edulis) yang toleran/tahan terhadap naungan. Bisa dimengerti bahwa dengan menggunakan pola tanam agroforestry ini, dari sebidang lahan bisa dihasilkan beberapa komoditas yang bernilai ekonomi. Akan tetapi sebenarnya pola tanam agroforestry sendiri tidak sekedar untuk meningkatkan produktivitas lahan, tetapi juga melindungi lahan dari kerusakan dan mencegah penurunan kesuburan tanah melalui mekanisme alami. Tanaman kayu yang berumur panjang diharapkan mampu memompa zat-zar hara (nutrient) di lapisan tanah yang dalam, kemudian ditransfer ke permukaan tanah melalui luruhnya biomasa. Mekanisme ini juga mampu memelihara produktivitas tanaman yang berumur pendek, seperti palawija. Mekanisme alami ini menyerupai ekosistem hutan alam, yakni tanpa input dari luar, ekosistem mampu memelihara kelestarian produksi dalam jangka panjang. Pola tanam agroforestry yang dianggap paling mendekati struktur hutan alam adalah pekarangan atau kebun. Pada pekarangan/kebun, tanaman-tanaman tumbuh secara acak sehingga menciptakan struktur tajuk dan perakaran yang berlapis. Jadi manfaat ganda dari pola agroforestry (yang ideal dan konsisten) adalah peningkatan produktivitas dan pemeliharaan lingkungan.

Pola pertanaman yang diterapkan pada hutan jati di Jawa adalah tumpangsari, yang merupakan salah satu pola agroforestry. Tumpangsari di hutan jati di Jawa pada dasarnya sama dengan perladangan berpindah, dalam hal: memanfaatkan pembukaan hutan baru yang tanahnya masih subur. Sehingga tumpangsari sering disebut sebagai an improved shifting cultivation (Nair 1993). Prinsipnya tumpangsari yang konvensional hanya dilaksanakan selama tanah masih subur (dan sinar matahari masih cukup untuk palawija), sekitar 2-3 tahun pertama. Jika tidak ada input pemupukan oleh petani maka tumpangsari sudah dilakukan selama lebih dari 3 tahun dipastikan menghasilkan produktivitas yang rendah.

Pada dasarnya pola tanam agroforestry dapat dipisahkan menjadi dua yakni agroforesrty di dalam dan di luar kawasan hutan. Akhir-akhir ini berkembang wacana bahwa pertanaman kayu di luar kawasan hutan lebih menjanjikan daripada yang di dalam kawasan hutan. Sebagai misal, bahan baku industri ukir Jepara pada saat ini sebagian besar disuplai oleh kayu jati yang dihasilkan dari hutan rakyat di Gunung Kidul, dan bukan dari hutan jati. Gejala ini menunjukkan bahwa potensi dan kualitas hutan menurun setiap waktu, karena kurangnya rasa memiliki hutan sebagai penyangga lingkungan.

Lebih lanjut, pola tanam agroforestry di dalam kawasan hutan dapat dibedakan menjadi pertanaman yang menghasilkan non-timber forest product (NTFP) dan timber forest product. Pertanaman NTFP misalnya hutan kayu putih di Jawa atau eksploitasi damar mata kucing di Sumatra Selatan. Secara umum pertanaman agroforestry yang menghasilkan NTFP relatif lebih lestari daripada pertanaman yang memproduksi kayu. Pada kawasan yang memproduksi NTFP, komponen utama berupa tanaman kayu tidak dipanen, sehingga fungsinya sebagai hutan tetap terjaga.

Tantangan

Permasalahan yang perlu menjadi perhatian adalah adanya kesenjangan antara pola tanam agroforestry yang dilakukan masyarakat petani dengan konsep dan kemajuan penelitian tentang agroforestry. Petani masih berkutat dengan kemiskinan dan memenuhi urusan perut, sementara peneliti agroforestry berbicara tentang CO2 flux. Kalangan peneliti berharap besar pada agroforestry sebagai pola tanam yang mampu menyelamatkan lingkungan. Atau lebih sederhana, petani berbicara masalah mempertahankan hidup, peneliti berbicara kelestarian lingkungan global. Teknologi agroforestry mestinya sudah dipraktekkan secara modern tanpa meninggalkan fungsinya sebagai pendukung ketahanan masyarakat miskin.

Referensi

[1] Nair PKR (1993) An Introduction to Agroforestry. Kluwer Academis Publishers. The Netherlands, 499 pp

[2] Peluso NL (1992) Rich forest, poor people: resource control and resistance in Java. University of California Press, Ltd., California, 321 pp

[3] Simon H (1999) Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat: Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa. BIGRAF Publishing, Yogyakarta, Indonesia

Sumber :
Budiadi, Staf Pengajar Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta. karyasiswa di Kobe UniversityInovasi Online
ISSN : 0917-8376 | Edisi Vol.3/XVII/Maret 2005
http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=70

Sumber Gambar:
http://www.ecologyandsociety.org/vol5/iss2/art21/figure4.gif

Perlu Diperkenalkan Agroforestri dan Konsep Pertanian-Peternakan


Saya mengusulkan agroforestri, teknik budidaya yang memadukan pertanian dan kehutanan, untuk mengganti ladang berpindah yang penyiapan lahannya dengan pembakaran. Agroforestri diterapkan pada beberapa lahan milik seorang peladang. Lahan pertama penyiapannya memang dibakar kemudian ditanami beberapa tanaman sekaligus seperti karet, buah-buahan, kayu-kayuan, kedelai, kacang tanah, lada, dan jagung. Sambil menunggu pohon berkayu tadi tumbuh besar, kedelai, kacang tanah, lada, dan jagung dapat dipanen.

Budidaya serupa dilakukan di lahan lainnya. Selama 10 tahun kemudian, di ladang pertama pohon buah dan kayu sudah bisa dipanen. Ketika itu kemungkinan besar pemilik lahan tidak akan membakar karena perasaan sayang. Ketika ke ladang lainnya, demikian pula kondisinya. Pemilik hanya tinggal memanen dan memanen. Tidak perlu lagi membakar lahan untuk dijadikan ladang.

Selain agroforestri, pemilik ladang juga bisa memelihara ternak. Sersah-sersah tanaman bisa untuk pakan ternak. Kotoran ternak bisa untuk pupuk. Ada keuntungan lain dengan penerapan agroforestri, yakni jaminan adanya vegetasi cukup di suatu luasan lahan. Dengan sendirinya, lahan punya kemampuan menyimpan air dan unsur-unsur hara di tanah yang diperlukan oleh tumbuhan. (BRO)

Saya mengusulkan konsep pertanian-peternakan terpadu yang berarti mempraktikkan pertanian menetap di suatu kawasan. Penyiapan lahan budidaya sebelum ditanami tidak dengan dibakar, melainkan diolah dengan alat bajak atau traktor dan dipupuk sebelum ditanami.

Sampai masa panen tiba, ada kegiatan perawatan dan pemupukan berkala. Perawatan tanaman berarti juga membersihkan lahan dari tanaman pengganggu dan membuang tanaman yang rusak.

Dalam masa budidaya itu, petani mengembangkan peternakan sapi, kambing, itik, atau ayam. Tanaman pengganggu atau yang rusak bisa untuk pakan ternak. Sebaliknya, kotoran ternak untuk pupuk lahan.

Petani juga dikenalkan dengan penggunaan pupuk kimia untuk dapat memenuhi kebutuhan unsur hara pada lahan yang ditanami.

Pola budidaya pertanian menetap memungkinkan petani menikmati panen dua sampai tiga kali dalam satu tahun.

Sementara itu ampas panen tanaman bisa jadi pakan ternak dan kotoran ternak kembali menjadi pupuk. Hasil penjualan panen dapat dipakai untuk membiayai kehidupan dan membeli pupuk kimia.

Pada awalnya, tentu petani membutuhkan bantuan dari pemerintah. Bantuan atau stimulan tersebut diawali dengan penyuluhan, dan pembinaan sampai petani bisa mandiri.

Cara ini bisa diterapkan lebih dulu pada beberapa kelompok tani sebagai sebuah percontohan sebelum selanjutnya disebarluaskan kepada individu-individu petani.

Pemerintah daerah di Kalimantan Timur sebenarnya sudah menganggarkan dana untuk pengembangan pertanian, tinggal memfokuskan programnya agar tidak terus-terusan perladangan berpindah terjadi.

Pemerintah di awalnya juga harus membuka jalan untuk pemasaran. Dengan konsep tersebut, petani diarahkan dari bercocok tanam untuk kebutuhan sendiri menjadi untuk komoditas perdagangan. (BRO/YNS)

Sumber :
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0609/11/daerah/2941746.htm
11 September 2006. Diunduh 30 Maret 2009

Sumber Gambar:
http://www1.montpellier.inra.fr/safe/french/PAC/Photo/cranfield.jpg

Agroforestri Sebagai Suatu Pendekatan untuk Membangun Kepedulian Masyarakat Terhadap Kelestarian Hutan


Oleh : Ayu Putu Harina Ferdiyanthi

Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan. Dari Merauke sampai Sabang berjajar pulau-pulau besar maupun kecil dengan jumlah sekitar 17.504 (Saksono, 2004), sehingga julukan Nusantara (nusa = pulau, antara = antar) sangatlah pantas untuk Indonesia. Dengan total luas kepulauan Indonesia mencapai 1,9 juta km2 (Rochma, 2008) dan luas tutupan hutan mencapai 130 juta hektar (Kabar Indonesia, 2008), kepulauan Indonesia tampak menghijau bak untaian zamrud khatulistiwa. Hasil hutannya yang melimpah ditambah dengan suasana alamnya yang kondusif menjadikannya Indonesia negeri gemah ripah loh jinawi.

Terkait dengan keberadaan hutan di Indonesia, telah diatur dalam Pasal 33 Ayat 3 UUD Tahun 1945 tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial (Anonim, 1996) menegaskan bahwa: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal tersebut menunjukkan bahwa hutan yang ada di Indonesia patut untuk dijaga dan diatur oleh negara serta dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Dalam hal perlindungan hutan sebagaimana telah diuraikan dalam Pasal 4-6 Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 1985 tersirat bahwa masyarakat dilarang untuk memotong, memindahkan, merusak, menduduki, mengerjakan kawasan hutan dan atau menghilangkan pal batas hutan. Apabila masyarakat melanggar maka akan dijatuhi sanksi yang seberat-beratnya. Walaupun sudah diberlakukannya sanksi-sanksi, namun kenyataannya pelanggaran tetap saja terjadi. Ditambah lagi banyak orang yang kurang mempedulikan fungsi dan peran hutan yang berguna untuk menyeimbangkan sistem ekologi bumi.

Pelanggaran terjadi tanpa diimbangi dengan usaha penanaman hutan kembali (reboisasi). Penanaman berbagai macam pohon dengan atau tanpa tanaman setahun (semusim) pada lahan yang sama sudah sejak lama dilakukan di Indonesia. Contoh ini dapat dilihat dengan mudah pada lahan pekarangan di sekitar tempat tinggal petani. Praktek ini semakin meluas belakangan ini khususnya di daerah pinggiran hutan dikarenakan ketersediaan lahan yang semakin terbatas. Konversi hutan alam menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dikonversi menjadi lahan usaha lain. Maka lahirlah agroforestri sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan baru di bidang pertanian atau kehutanan. Ilmu ini berupaya mengenali dan mengembangkan keberadaan sistem agroforestri yang telah dikembangkan petani di daerah beriklim tropis maupun beriklim subtropis sejak berabad-abad yang lalu. Agroforestri merupakan gabungan ilmu kehutanan dengan agronomi, yang memadukan usaha kehutanan dengan pembangunan pedesaan untuk menciptakan keselarasan antara intensifikasi pertanian dan pelestarian hutan.

Permasalahannya sekarang adalah apa saja faktor penyebab kerusakan hutan, bagaimana agroforestri dapat dijadikan suatu pendekatan dalam sistem pengelolaan hutan di Indonesia, dan apa saja kendala yang dihadapi serta bagaimana solusi untuk mengatasinya? Untuk menjawab hal ini mutlak diperlukan kajian mengenai agroforestri, kondisi hutan Indonesia dan sistem pengelolaan hutan di Indonesia yang berjalan selama ini sehingga didapat suatu korelasi positif antara keduanya.

Dalam pengertian sederhana, agroforestri yang lebih dikenal dengan istilah wanatani merupakan suatu sistem penggunaan lahan yang bertujuan untuk mempertahankan atau meningkatkan hasil total secara lestari, dengan cara mengkombinasikan tanaman pangan/ternak dengan tanaman pohon pada sebidang lahan yang sama, baik secara bersamaan atau secara bergantian, dengan menggunakan praktek-praktek pengolahan yang sesuai dengan kondisi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya setempat (Anonim, 2001).

Selain untuk mencegah perluasan degradasi tanah, agroforestri melestarikan sumber daya hutan, meningkatkan mutu pertanian serta menyempurnakan intensifikasi dan diversifikasi silvikultur. Sistem ini telah dipraktekkan oleh petani di berbagai tempat di Indonesia selama berabad-abad (Michon dan de Foresta, 1995), misalnya sistem ladang berpindah, kebun campuran di lahan sekitar rumah (pekarangan) dan padang penggembalaan.

Berdasarkan hal tersebut diharapkan di setiap daerah di Indonesia diberlakukan agroforestri mengingat hampir setiap daerah di Indonesia terdapat hutan. Bahkan dunia pun mengakui bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki hutan terbanyak sedunia. Karena itulah Indonesia dikatakan sebagai paru-paru dunia. Dilihat dari jenis vegetasinya, hutan di Indonesia sebagian besar terdiri atas hutan hujan tropis, daerah sabana, daerah stepa, serta vegetasi hutan lain yang tersebar merata di kepulauan Indonesia.

Saat ini, laju kerusakan hutan mencapai 3,8 juta hektar per tahun. Ini berarti dalam semenit terdapat 7,2 hektar hutan yang rusak. Tercatat bahwa sebanyak 34.005,46 ha areal hutan rusak akibat perambahan atau pemukiman liar serta sebanyak 10.663,41 ha areal hutan rusak akibat perladangan liar, penebangan liar, dan pencurian hasil hutan (Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2006). Menurut World Reseach Institute, dari total tutupan hutan Indonesia seluas 130 juta hektar, 72 persen hutan asli Indonesia telah hilang. Berarti hutan Indonesia hanya tinggal 28 persen saja. Untuk itu, semua pihak dituntut dapat memberikan kontribusi dan partisipasi aktif bagi perbaikan hutan Indonesia.

Sedangkan sebaran kawasan konservasi dilihat pada tahun 2006, antara lain: cagar alam 4.524.848,93 ha, suaka margasatwa 5.004.629,74 ha, taman wisata alam 269.215,85 ha, taman buru 226.200,69 ha, taman nasional 12.330.204,61 ha, serta sisanya berupa taman hutan raya 347.427,34 ha.

Selama ini, sistem yang digunakan dalam pengelolaan hutan di Indonesia biasanya menggunakan sistem tebang tanam pohon (Sagala, 2002). Dimana sistem ini hanya berpegang pada hasil produksi. Walaupun tetap diusahakan agar berguna pula untuk mencegah bencana seperti erosi, namun tidak menutup kemungkinan terjadi kebakaran hutan atau masalah-masalah lainnya.

Sistem pengelolaan yang tergolong sederhana tersebut masih kurang memberikan hasil, bahkan tidak dapat mengantisipasi agar tidak terjadi masalah-masalah hutan. Sehingga dapat dikatakan sistem pengelolaan tersebut belum efektif, hingga dapat menimbulkan beberapa masalah. Selain karena sistem pengelolaan yang belum efektif, kerusakan hutan bisa terjadi karena penebangan yang salah sasaran dan menebang tanpa perhitungan atau disebabkan karena pihak berwenang tidak menetapkan tegakan sebagai produk, hal ini merupakan kesalahan fatal karena yang disebut-sebut hanyalah prosedur, target produksi dan target luas tanaman, akibatnya di lapangan tidak ada acuan kerja dan tolok ukur untuk menilai hasil pekerjaan. (Sagala, 2002)

Berdasarkan hal tersebut maka perlu dicari solusi yang tepat untuk dapat memperbaiki keadaan hutan. Sebelumnya perlu adanya strategi untuk mengimplementasikan hutan ke arah yang lebih baik dengan tetap melestarikannya. Strategi yang dapat digunakan adalah dengan pendekatan agroforestri. Dimana pendekatan ini dapat digunakan untuk membangun kepedulian masyarakat terhadap kelestarian hutan.

Lahan yang dimanfaatkan sebagai agroforestri adalah lahan gundukan atau lahan yang area tanahnya miring. Area ini tidak sulit untuk ditemukan karena kenyataannya hutan-hutan yang tersisa atau yang belum dialihfungsikan kebanyakan terdapat di daerah perbukitan atau pegunungan. Dari pengertian agroforestri tersebut bisa disimpulkan bahwa strategi yang dimaksud adalah penerapan praktek-praktek pertanian dataran rendah dipindahkan ke dataran tinggi atau pada area gundukan. Digunakannya lahan gundukan sebagai area hutan adalah untuk mencegah air cepat hilang dari tanah.

Pertama, lahan dibersihkan dari tanaman pengganggu (alang-alang atau tanaman mudah terbakar lainnya). Langkah berikutnya dalam penanaman pohon adalah membuat daerah barisan. Pada lahan datar, sebaiknya barisan-barisan tersebut menggunakan model tanam empat persegi panjang sehingga membuat lajur lebih lebar dan lebih mudah jika diisi tanaman sela. Tempat untuk menanam pohon ditandai dengan patok untuk memudahkan pengelolaan tanaman sela terutama saat menyiangi (Anonim, 2001). Perlu dipertimbangkan pula untuk menanami tanaman sela tanaman semusim. Persiapan seksama akan membantu membasmi alang-alang dan memperbaiki pertumbuhan pohon. Selain itu juga akan memberikan hasil tambahan (Anonim, 2001).

Lebih lanjut dijelaskan bahwa penggalian lubang dilaksanakan paling tidak satu minggu sebelum tanam. Sinar matahari akan membantu merombak bahan organik dalam lubang tanam, membantu membunuh hama dan membasmi penyakit yang membahayakan. Lubang tanam seharusnya mampu menampung akar tanaman dan pupuk kandang. Lapisan tanah bawah pada dasar lubang sebaiknya dihancurkan untuk tanah-tanah yang padat. Setelah semua siap barulah dilaksanakan penanaman. Penanaman akan lebih baik dilakukan saat musim penghujan. Agar hasilnya lebih baik berikan pupuk dasar jika memungkinkan, lapisan tanah atas dari galian lubang dicampur dengan kompos, dan pemberian mulsa sebanyak-banyaknya asalkan tidak menciptakan bahaya kebakaran atau media perkembangbiakan rayap.

Selain itu juga ditanami tanaman multiguna atau tanaman pertanian secara selang seling terhadap pepohonan pada jarak tertentu. Misalnya pada luas areal tertentu ditanami tanaman multiguna, kemudian diberi jarak yang cukup jauh untuk menanam pohon besar, dan begitu seterusnya. Penanaman pohon besar dengan pohon besar lainnya pun perlu di berikan jarak sesuai dengan situasi dan kondisi lahan, sehingga ada ruang untuk tanaman sela. Pemberian jarak dan penanaman secara selang-seling ini dimaksudkan untuk menghindari bahaya kebakaran yang mungkin timbul serta mengurangi persaingan makanan antar tanaman. Selain itu juga menjadikan lahan hutan lebih produktif.

Tumbuhan pohon bisa tumbuh sangat besar dan tinggi dalam waktu yang cukup lama, sehingga pekerja dapat memanfaatkan waktu untuk mendampingi tanaman multiguna atau tanaman pangan. Untuk mengurus dan merawat tananaman pangan misalnya padi, tetap dengan cara seperti biasa. Kemudian cara ini juga diterapkan pada area tumbuhan pohon besar. Selayaknya padi, dipanen jika seluruh benih telah timbul dan masak, begitu pula pada pohon kayu. Hingga semua pohon benar-benar masak seluruhnya, barulah penebangan dilakukan. Tetapi disini, penebangan tidak dilakukan di semua area pohon besar. Pohon besar di daerah puncak gundukan tidak ditebang walaupun sudah waktunya. Pohon-pohon disana tetap dibiarkan dengan maksud jika pohon-pohon pada daerah di bawahnya telah di tebang maka pohon di bagian atas akan menebarkan bijinya ke daerah tersebut dan biji-biji tumbuh hingga menjadi pohon besar kembali, dan begitulah seterusnya. Dengan istilah kasarnya hanya tinggal memanen saja tanpa memerlukan banyak peran output. Biji pada pepohonan di daerah puncak gundukan tentu menyebar di segala arah, termasuk juga ke area tanaman multiguna. Agar pohon besar tidak tumbuh di daerah ini, pohon tersebut hanya perlu dipindahkan ke area pohon kayu ketika pohon masih berukuran kecil. Pohon-pohon kayu ketika masih memiliki akar muda, kembali jaraknya disesuaikan.

Apabila hal ini telah terwujud, kesejahteraan pekerjanya baik dari segi waktu dan ekonomi lebih meningkat. Selain itu, areal hutan produktif juga tetap dapat menjaga keseimbangan ekologi bumi.

Karena merupakan sistem pertanian dengan pendekatan yang tergolong baru, maka dalam aplikasinya agroforestri mungkin akan menimbulkan beberapa kendala seperti: kesulitan visual, kesulitan mengukur produktivitas, serta kurangnya pengetahuan tentang pengelolaan pohon pada lahan pertanian.

Dari segi visual, karena agroforestri terdiri dari banyak jenis tumbuhan, sehingga terjadi keberagaman bentuk, kemiripan dengan vegetasi hutan alam, dan kesulitan membedakannya dalam penginderaan jauh (remote sensing) menjadikan bentang hamparan agroforestri sulit dikenali. Kebanyakan agroforestri dalam peta-peta resmi diklasifikasikan sebagai hutan sekunder, hutan rusak atau belukar, oleh karena itu biasanya disatukan ke dalam kelompok lahan yang menjadi target rehabilitasi lahan dan hutan. Namun hal ini dapat diatasi dengan perencanaan penanaman yang matang, misalnya jarak penanaman satu pohon dengan pohon lainnya teratur. Dalam pengindraan jauh akan terlihat tumbuhan-tumbuhan yang tersusun rapi.

Selain kendala tadi terdapat pula kendala lain yaitu sektor ekonomi pertanian terbiasa dengan perhatian hanya kepada jenis tanaman dan pola penanaman yang teratur rapi. Biasanya mereka enggan memberi perhatian terhadap nilai pepohonan yang non-komersial. Mereka juga biasanya tidak memiliki latar belakang yang cukup untuk mengenali manfaat ekonomi spesies pepohonan dan herba/semak. Untuk tanaman non-komersial tetap dapat bermanfaat, walaupun memang tidak memiliki nilai ekonomis tetapi dapat dimanfaatkan untuk hal lain terutama untuk mendukung pertumbungan tumbuhan utama.

Sedangkan, penyisipan pohon diantara tanaman semusim, akan menimbulkan masalah yang sering merugikan petani karena kurangnya pengetahuan petani akan adanya interaksi antar tanaman. Untuk mengatasi kendala ini saat penanaman perlu diberikan jarak yang sesuai antar tumbuhan, sehingga tidak timbul masalah seperti persaingan makanan.

Berdasarkan uraian terdahulu, maka dapat disimpulkan bahwa agroforestri merupakan pendekatan tepat guna untuk menumbuhkan kepedulian masyarakat terhadap kelestarian hutan. Faktanya terlihat bahwa agroforestri yang tersusun selang-seling dapat menghindari terjadinya bahaya kebakaran yang mungkin timbul serta mengurangi persaingan makanan antar tanaman. Selain itu juga menjadikan lahan hutan lebih produktif. Dengan demikian dapat meningkatkan keefektifan lahan sehingga menunjang perekonomian pekerjanya, selain itu juga secara tidak langsung dapat membentuk hutan yang sehat sehingga tetap berfungsi untuk menjaga keseimbangan bumi.


DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2001. Bab 4: Agroforestri. Jakarta

Anonim. 2006. Sebaran Kawasan Konservasi Sampai Dengan Tahun 2006. Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Jakarta http://www.dephut.go.id/INFORMASI/STATISTIK/2006/II11_06.pdf

Anonim. 2008. Lomba Tulis YPHL : Strategi Membangun Kepedulian Demi Kelestarian Hutan. Kabar Indonesia Online. Jakarta www.kabarindonesia.com

De Foresta, H. and G. Michon. 1997. The Agroforest Alternative To Imperata Grasslands: When Smallholder Agriculture And Forestry Reach Sustainability. Agroforestry Systems 36:105-120

Rochma, Malia. 2008. Economic Review No. 211: Prospek Sektor Transportasi di Indonesia. Bank Nasional Indonesia. Jakarta
http://www.bni.co.id/Portals/0/Document/Transportasi.pdf

Sagala, Porkas. 2002. Mengelola Lahan Hutan yang Benar. Buku Obor. Jakarta.

Sumber:
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&jd=Lomba+Tulis+YPHL:+Agroforestri+Sebagai+Suatu+Pendekatan+Untuk+Membangun+Kepedulian+Masyarakat+Terhadap+Kelestarian+Hutan&dn=20081030214657. 30 Okt 2008
30 Maret 2009

Sumber Gambar:
http://www.bioman.ceh.ac.uk/images/agrofo1.jpg

Agroforestri, Tingkatkan Manfaat Hutan tanpa Dirambah


Hutan merupakan sumber pakan yang sangat potensial bagi ternak, meski begitu ternak sering dituduh sebagai penyebab kerusakan hutan. Padahal, peran ternak berpotensi menurunkan perambah hutan (pencuri kayu) karena aktivitas masyarakat terkonsentrasi pada pengelolaan ternak. Permasalahan ini mestinya dapat diatasi dengan mengembangkan sistem agroforestri, yakni menanam pohon di lahan pertanian yang bisa dilakukan di kalangan petani dan peternak.

Hal tersebut mengemuka dalam workshop yang bertajuk “Animal and Agroforestry: Importance of Agroforestry in Developing Animal Production in Remote Area”, kerjasama Fakultas Peternakan UGM dengan International Community Research for Agroforestry (ICRAF), Senin (9/2/2009).

Workshop yang berlangsung di Ruang Sidang Besar Fakultas Peternakan UGM ini menghadirkan Guru Besar Fakultas Peternakan Prof. Dr. Soemitro Padmowijoto, Dosen fakultas Peternakan I Gede Suparta Budisatria, Ph.D, Dosen Kehutanan Dr Budiadi dan peneliti Research and Empowerment (IRE) Krisdyatmiko, M.Si.

I Gede Suparta mengatakan ekosistem hutan alam merupakan ekosistem yang stabil. "Ekosistem inilah yang jadi tujuan konsep agroforestry, karena hutan merupakan sumber pakan yang sangat potensial bagi ternak," katanya.

Meski begitu, lanjut Suparta, ternak sering dituduh sebagai penyebab kerusakan hutan. Padahal, peran ternak berpotensi menurunkan perambah hutan (pencuri kayu) karena aktivitas masyarakat terkonsentrasi pada pengelolaan ternak.

”Untuk menekan kerusakan hutan, perlu diperhatikan tentang kapasitas hutan, jenis ternak, sistem pemeliharaan, jumlah ternak yang dipelihara, serta kearifan lokal,” paparnya.

Sementara itu Budiadi menuturkan bahwa dalam agroforestry terdapat variabel produktivitas yang secara ekonomis harus dipenuhi. Sehingga harapannya ternak yang dimasukkan dalam konsep agroforestry merupakan ternak yang komersial.

Sedangkan menurut Krisdyatmiko ada dua hal yang mestinya harus diperhatikan dalam pelaksanaan konsep agroforestry. Pertama, program ini harus menjadi gerakan masyarakat dan harus ada legitimasi dari pemerintah. Sehingga pemberdayaan masyarakat sekitar hutan harus melibatkan masyarakat dalam pengambilan kebijakan terhadap pengelolaan hutan tersebut.

Kedua, masyarakat harus menjadi subyek perubahan, peran kampus sebagai pentransformasi ide dan gagasan sehingga program-program agroforestri sehingga mampu menjadi gerakan masyarakat.

“Masyarakat hutan tidak akan merusak hutan jika hutan tersebut merupakan basis penghidupan mereka,” katanya.(BJ-33)

Sumber :
Dwi Nugroho
http://www.beritajogja.com/berita/2009-02/agroforestry-tingkatkan-manfaat-hutan-tanpa-dirambah, 13 Februari 2009

Sumber Gambar:
http://www.agnet.org/images/library/bc48005f2.jpg