Minggu, 06 Desember 2009

Berharap pada Agroforestri: Sebuah Transformasi

Pun lahir para pecinta
Dan pulanglah si pelibas
Kencanaku pun menyusu lagi oleh mereka

: Borneo, borneo;-
Kupanggil hijaumu pulang
Meninggali gambut bumimu

Borneo, borneo;-
Macan dahan biarlah kembali
Murai batumu biarlah menyanyi lagi

(Menarilah lagi, wahai kencana)

…….

Puisi oleh Norman Erikson P

Kalimantan pernah disebut hutan hujan terkaya di sabuk khatulistiwa. Kekayaan alam tersebut membanggakan sumbangsih kita sebagai paru-paru dunia. Terlebih kearifan lokal masyarakat dayak yang memiliki filosofi manyalamat petak danum yang berarti bahwa sumber daya alam harus dilestarikan untuk anak cucu dan keturunan selanjutnya.

Dengan berbagai terpaan kebijakan pembangunan yang eksploitif di bumi Kalimantan sejak awal pemerintahan orde baru, telah membabat secara besar-besaran hutan tambun bungai. Kayu sempat menjadi dewa uang bagi pendatang dan penduduk lokal yang andil mengeksploitasi. Setelah semua habis ditebang, ironisnya tidak berdampak pada perbaikan kualitas hidup masyarakat, yang tersisa hanya rasa sakit akibat kebakaran dan asap. Dan penduduk lokal pun tidak merasakan dampak apapun terhadap perubahan ekonomi.


Melakukan Perubahan, Memulai dari Nol

Disebuah desa, jauh dari ibukota Kasongan, terdapat masyarakat yang bermukim disekitar pinggiran hilir sungai Katingan, dekat perbatasan Taman Nasional Sebangau. Kala itu desa ini masih cukup ramai, namun pasca kebijakan pelarangan pembalakan kayu dan ditetapkannya Sebangau sebagai kawasan yang dilindungi sempat mengagetkan masyarakat sekitar yang hidup dari aktifitas menebang.

Sejak bulan Juli 2008 masyarakat di wilayah Taman Nasional Sebangau memperoleh pelatihan agroforestri, okulasi, kompos, penguatan kelembagaan dan analisis usaha tani bagi kelompok–kelompok pelaku. Agroforestri menjadi salah satu bentuk metode populer bersifat tradisional dalam sistem, atau teknologi penggunaan lahan yang memiliki kaitan yang erat dengan berbagai aspek sosial-budaya di masyarakat. Program ini menjadi salah satu alternatif pendapatat ekonomi masyarakat lokal yang sebelumnya bekerja dari hasil tebangan.

Selain memiliki kaitan erat dengan aspek social-budaya, tetapi juga aspek ekologi. Calestreme (2004), Prasetyo, Hendarto dan Hariyanto (2007) berasumsi bahwa agroforestri karet dapat menampung 31 jenis mamalia yang menjadikan agroforestri karet sebagai penyedia sarang dan makanan serta tempat hidup hewan langka. Di dalam agroforestri karet bias dijadikan rumah bagi 12 jenis kelelawar pemakan buah dan serangga, 6 jenis primata serta 46 jenis kumbang tinja yang dapat digunakan sebagai indikator agroforestri karet sebagai lingkungan yang menyerupai hutan.

Masuknya agroforestri di wilayah Taman nasional Sebangau sebagai alternative penguatan ekonomi merupakan langkah perubahan dan transformasi. Masyarakat yang mayoritas asli dayak yang terbiasa bekerja sebagai nelayan dan penebang kayu tiba-tiba dihadapkan sebuah alternative pekerjaan yang lain yaitu sebagai petani. “Kebetulan karena illegal logging ditutup, masyarakat berpikir untuk nanam karet. Kami menjadi memulai segalanya dari nol. Tidak semua masyarakat saat itu menerima program agroforestri. Kendati sebagaian masyarakat kurang paham dan menduga program ini hanyalah merugikan masyarakat karena ditakutkan hasilnya akan diambil oleh pihak fasilitator (WWF-red). Tapi sejak proses pelatihan beberapa kali, kami menyadari bahwa kegiatan ini hasilnya akan dinikmati sendiri oleh masyarakat” Ujar Anjar Sugiarto, seorang petani dari kelompok RONEN BATUAH.


Belajar Menjadi Mandiri

Kini masyarakat di beberapa desa sekitar Sebangau sudah memiliki beberapa kebun entres yang ditanami karet dan buah-buahan seluas 1 Ha tiap desa-nya. Penentuan lahan dan pengelolaannya ditentukan sendiri oleh masyarakat yang dibagi dalam kelompok-kelompok tani. Pola pengorganisasian-nya seperti ini, satu desa dibentuk 4 kelompok dimana masing-masing kelompok ada 8-10 orang. Pembagian kebun yang seluas 1 hektar tersebut dibagi menjadi 8 balur. Masing-masing kelompok otomatis mendapat 2 balur untuk dikelola mulai dari penanaman, perawatan hingga panen.

Untuk memberikan motivasi bagi kelompok tani yang menerapkan perawatan dan keseriusan dalam mengelola kebun entres (bank bibit), WWF bersama mitranya pernah menyelenggarakan perlombaan. Warga Kecamatan Kamipang sekitar Taman Nasional Sebangau mengikuti lomba kebun agroforestry pada bulan Desember 2008 lalu. Dari hasil penilaian, juara I diraih oleh desa Tumbang Ronen, Juara II diraih oleh desa Baun Bango, Juara III diraih oleh desa Jahanjang, juara IV diraih oleh Asem Kumbang, juara V diraih Keruing dan Juara VI diraih oleh desa Perupuk.

Pasca pelatihan yang difasilitasi oleh Balai Taman Nasional Sebangau dan WWF-Indonesia, petani mengorganisir kelompoknya sendiri seperti melakukan pertemuan kelompok dan perawatan kebun. “Hanya gara-gara musim kemarau sekitar dua bulan ini kami tidak turun karena jalan ke kebun sangat jauh dari desa kami. Melewati sungai sejauh 300 m, kemudian dari dermaga kami berjalan kaki 400m lagi. Kendati alat kami yang sangat terbatas, mesin pompa menjadi tidak berfungsi dimusim kering untuk menyiram kebun karet dan buah-buahan kami, karena sumur dan sungai-sungai menjadi kering sehingga seharusnya dibutuhkan alat selang di sungai utama”, kisah Anjar berharap.

Pria berusia 27 tahun ini meyakinkan bahwa petani-petani di desanya sangat optimis terhadap program agroforestri ini. “ Bahkan kami sering melakukan swadaya sendiri dengan cara jika ada yang tidak ikut berangkat kerja bakti rutin maka diharuskan membayar kas sejumlah tigapuluh lima ribu. Tidak ada yang berkeberatan, bahkan semakin besar semangat kami untuk mengelola kebun.”, tukas bapak beranak dua juga bekerja sebagai nelayan dan motoris sehari-harinya.

Masyarakat sekitar hutan Sebangau memang memiliki pekerjaan yang tidak tetap, jika air surut mereka menjadi nelayan. Saat diberi alternative untuk menjadi petani merupakan sebuah transformasi yang mengajarkan mereka untuk tidak terbiasa memperoleh segala sesuatu dengan instant. “Yang akhirnya kami pahami saat ini adalah dengan masuknya program agroforestri membawa kami menjadi masyarakat yang mandiri. Mimpi kami adalah berharap Tumbang Ronen agar menjadi bank bibit”, tukasnya sambil menutup pembicaraan.

Keterangan: Pulau Kencana adalah sebutan Pulau Kalimantan pada Jaman Jayabaya.

Sumber :
Tira Maya Malsesa
http://t1r4.wordpress.com/2009/07/07/berharap-pada-agroforestri-sebuah-transformasi/
7 Juli 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar